Cuci tangan adalah kegiatan sederhana. Meski begitu, tak banyak orang menjadikannya kebiasaan dan melakukannya dengan cara tepat. Kalaupun cuci tangan biasanya hanya dilakukan sekadarnya, tanpa sabun atau air mengalir. Membangun kebiasaan cuci tangan yang baik nyatanya masih menjadi tantangan, utamanya pada anak-anak.
Hal inilah yang dirasakan salah satu dokter kecil terbaik se-Indonesia 2013, Handreni Ester Bako (13). Padahal, cuci tangan terbukti mampu menyingkirkan kuman dan menekan angka kesakitan penyakit menular. Dalam Riset Kesehatan Dasar 2013, peningkatan kebiasaan cuci tangan pakai sabun (CTPS) menjadi 47 persen mampu menekan angka kejadian diare hingga hanya mencapai 3,5 persen dari total seluruh balita di Indonesia.
“Sulit sekali mengajak teman-teman agar mau CTPS. Apalagi kalau anak laki-laki, saya bilangnya harus berulang-ulang,” ujar siswi kelas 6 SD Inpres Lili, Kecamatan Fatuleo, Nusa Tenggara Timur yang kerap disapa Ester ini.
Kesulitan untuk mengajak kebiasaan CTPA tak hanya dirasakan Ester dalam lingkungan pertemanan namun juga dalam keluarganya. Ester kerap bertengkar dengan dua kakak perempuannya yang duduk di kelas 3 SMA dan 3 SMP. Ester juga kerap mengingatkan kedua orangtuanya untuk selalu mencuci tangan sebelum makan, setelah dari kamar mandi, dan saat mandi.
Akibatnya minimnya CTPS, orang-orang di lingkungan sekitar Ester banyak menderita diare. Apalagi lingkungan tempat tinggal Ester kerap disinggahi lalat yang menyebarkan kuman, sehingga meningkatkan risiko terkena beragam penyakit infeksi. Namun perlahan, hal ini berubah sejak Ester menjadi dokter kecil.
“Sebelumnya pernah ada penyuluhan di sekolah yang mengatakan, tangan kotor menjadi sumber utama penularan penyakit misalnya diare. Karena itu tangan harus selalu bersih supaya kuman tidak masuk ke tubuh. Untuk mempersihkan tangan tidak cukup hanya dengan air, harus pakai sabun,” tutur Ester di Jakarta.
Edukasi tersebut membuka wawasan Ester tentang penyebab penyakit diare yang jumlah penderitanya tak sedikit di lingkungan tempat tinggalnya. Ester pun mulai aktif menyebarkan informasi pentingnya CTPS. Tanpa henti, Ester terus mengajak teman dan keluarganya untuk melakukan CTPS hingga akhirnya perlahan Ester bisa membuat lingkungannya berubah. Perubahan ini membawa dampak positif yaitu menurunnya jumlah anak yang menderita diare di tempatnya bersekolah.
“Dulu yang enggak masuk sekolah bisa 6-10 orang tapi sejak rajin CTPS sekarang enggak ada yang absen gara-gara diare. Bapak, ibu, dan kakak juga sudah terbiasa CTPS sehingga tangan selalu bersih dan terhindari dari kuman penyebab penyakit,” kata Ester.
Meski tidak mudah, Ester mengaku senang karena lingkungan sekitarnya sudah mulai terbiasa melakukan CTPS. Tak sulit melakukan CTPS, sebuah kebiasaan preventif yang sangat murah dan terbukti efektif melawan penyakit.
Sumber: health.kompas.com