Kondisi gizi masyarakat tak banyak berubah selama beberapa dekade terakhir. Belum tuntas berbagai masalah gizi klasik, persoalan gizi baru akibat modernisasi muncul. Gizi masih dianggap urusan sektor kesehatan semata, bukan investasi bersama bangsa.
”Penyelesaian persoalan gizi di sektor politik dan ekonomi lemah,” kata Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi yang juga dokter spesialis gizi klinik Tirta Prawita Sari, menyambut Hari Gizi Nasional, 25 Januari, di Jakarta, Jumat (25/1).
Masalah klasik yang menjadi masalah hingga kini, antara lain, tingginya kasus kurang gizi dan anak pendek, rendahnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan diare. Saat bersamaan, kasus obesitas meningkat, konsumsi makanan tak sehat justru dianggap modern. Informasi gizi berbasis sumber daya lokal kalah oleh informasi gizi luar negeri yang sering menyesatkan.
Jika terjadi kasus gizi, pendekatan medis yang bersifat instan harus dilakukan. Namun, itu tak cukup karena sumber utama persoalan gizi terletak pada bidang lain, seperti buruknya infrastruktur, pertanian, ekonomi, dan pendidikan.
”Penyelesaian yang bersifat instan justru jadi favorit politisi dan pengambil kebijakan karena hasilnya langsung terlihat,” katanya.
Hal senada dikemukakan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Abdul Razak Thaha. Mengutip penelitian Bank Dunia, meski tenaga kesehatan bekerja maksimal menangani persoalan gizi, hanya 35 persen persoalan yang akan terselesaikan. Sisanya adalah persoalan di luar sektor kesehatan.
Thaha mengatakan, komitmen pemerintah terhadap persoalan gizi hanya baik di atas kertas dan dalam pidato. Namun, implementasinya dalam kebijakan sangat rendah yang tecermin dari rendahnya anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kalaupun pembiayaan program gizi tersedia, realisasi program sering tidak optimal. Keberhasilan pelaksanaan program masih diukur dari pertanggungjawaban administrasi dan serapan anggaran, bukan ada tidaknya perubahan dalam masyarakat.
”Ini membuat persoalan gizi yang ada makin buruk,” ujarnya.
Tirta menambahkan, dibandingkan kebijakan pada era Orde Baru, sejumlah pelaksanaan program gizi saat ini justru lebih buruk, seperti penyelenggaraan pos pelayanan terpadu (posyandu). Padahal, posyandu merupakan penjaga terdepan gizi bayi, anak kurang dari lima tahun, dan ibu hamil.
Lembaga legislatif pun dinilai kurang sensitif terhadap isu-isu gizi. Sebagai pembuat aturan perundang-undangan, tak banyak aturan untuk melindungi gizi masyarakat yang dihasilkan. Fungsi kontrol atas kebijakan pemerintah pun lemah.
Fokus
Di tengah kompleksnya permasalahan dan terbatasnya anggaran, kata Thaha, fokus kebijakan perlu ditekankan pada 1.000 hari pertama kehidupan anak mulai dari terbentuknya janin hingga berusia dua tahun. Fase ini dasar pembentukan kehidupan selanjutnya. Pada tahap ini, pembentukan volume otak mencapai 80 persen dan landasan pencegahan penyakit degeneratif pada masa tua dibangun.
”Masyarakat yang sudah hidup dengan gangguan gizi harus terus diajari cara makan yang benar dan seimbang,” katanya. Aktivitas fisik dan olahraga harus terus didorong untuk mengontrol berat badan.
Menurut Tirta, pemerintah memiliki daya menciptakan generasi bangsa sehat. Karena itu, ketegasan untuk mengatur pola makan masyarakat perlu diwujudkan, mulai dari pembatasan konsumsi gula, garam, lemak, hingga iklan makanan tak sehat.
Kebanggaan terhadap pangan lokal yang lebih menyehatkan juga harus dibangun. Kemodernan harus dimaknai dengan hidup yang lebih sehat.
”Persoalan gizi adalah investasi bangsa,” kata Tirta. Gizi yang baik akan meningkatkan produktivitas dan daya saing warga. Butuh keseriusan semua pihak untuk menyelesaikan berbagai persoalan gizi secara terintegrasi dan komprehensif.
From: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar